Jeritan HAFIZ QUR'AN

 

Oleh: Muhammad Syukur

(Mahasiswa PAI Angkatan 2020) 

Fatamorgana menari sadis dipandanganku, gemuruh lembut menyapa telingaku di gazebo yang dimakan rayap ini, tempat dimana memuroja'ah hafalanku tiap selesai jam kuliah.
 
Harun, itulah namaku. sebagai salah satu lulusan terbaik disalah satu Pesantren di Sangatta, dijanjikan dengan beasiswa kuliah yang besar, tapi semua itu ternyata hanya wacana saja, demi meningkatkan kualitas kampus. 

Sekarang diriku memasuki tahun ke-3 di kampus Universitas Kudungga, Entah beban sebagai anak pertama, pikiran yang bergejolak saat ini terurai, bahwa bagaimana caranya hafalan ini  bisa bermanfaat, sehingga dapat membiayai kebutuhan pokok keluarga maupun biaya SPP kuliahku ini. 

Ngajar ngaji, nginfal, tapi gajinya ngak mencukupi kebutuhan. "huffft" aku menghela nafas panjang dalam lamunanku. 

Apa diri ini berhenti kuliah saja? Pikirku sambil merenung di Gazebo lusuh ini. Rasanya tak sesuai dengan perkiraanku, kuliah itu dapat menjamin masa depan, Nyatanya tidak dengan informasi yang kudapatkan.

Almarhum ayahku, sudah meninggalkan rumah tanpa berpamitan, ibuku paruh baya yang profesi tukang jahit, kiranya sehari paling banyak dapat 100 ribu, kadang juga sehari tidak dapat pemasukan. Adikku si Norma saat ini menempuh Sekolah Dasar (SD). Terkadang biaya perlengkapan alat tulis sekolahnya pun tidak lengkap, sedangkan tempat hunianku saat ini merupakan barakan sewaan, yang tentunya harus dibayar setiap bulan. 

Apakah keputusanku ini tepat untuk berkuliah? Dengan kondisi keluarga seperti ini? Tapi terlintas kalam Allah "Allah memberikan ujian tidak di luar batas kemampuan manusia." Semuanya mengingatkan perjuangan mati-matian, pastinya ujian tes tulis masuk kampus ini, tapi aku yang Hafiz Qur'an memperlihatkan kertas yang terukir pena hitam dengan huruf kapital di tengah-tengah kertas *HAFIZ QUR'AN 30 JUZ* diloloskan tanpa ujian tes, "eh" Ucapku dalam ekspresi heran. 

Padahal dipersyaratannya tertulis mencantumkan sertifikat penghargaan, semuanya menunjukkan sertifikat, ada yang juara 1 taekwondo, juara 1 debat ilmiah, bahkan ada juara 1 cipta puisi tingkat nasional, tapi prestasiku ini tak pernah mengikuti lomba apapun, apakah pantas diriku ini lolos tanpa mengikuti ujian tes tertulis? dibanding orang berjuang ujian tes tertulis yang sudah bayar mahal tapi tidak lolos juga. 

Terasa perjuangan yang tak ada mengkhianati hasil. Tapi mengapa serasa seperti film India hidup ini, seperti menempati kasta dikerajaan dan aku menempati posisi kasta paling bawah, perisaiku hancur berkeping-keping merasa tertindas dengan keadaan, "duhh" apakah buah  pikiranku sebegitu radikal kepada tuhan. 

Kadang kala aku berpikir, mengapa rasanya lebih berat kondisi hidup ini, dibanding pada saat proses mengkhatamkan 30 juz. Entah mengapa terlintas dibenakku "masih banyak yang ingin berkuliah Harun, tapi banyak tak sanggup melewati ujiannya. " Dari jiwa ini yang sehat menjadi gunda, jiwa kuat berubah lemah, tapi bagaimana diri ini tetap tegar meski dalam kondisi rapuh. 

Entah, mengapa jeritan ini kadang kala berbisik halus di kepala, khayalan yang ingin mencapai kesuksesan secara instan, sambil aku bertanya dalam hati "Ini bukan kutukan dari nenek moyangku-kan." Jangan sampai pengaruhnya malah aku yang dapat. pikirku, lalu tertawa geli akibat pikiran liarku barusan.

Bagaimana mungkin aku bisa diam, tidur pulas pun aku tak tau rasanya sekarang, terasa jiwaku hilang separuh, pikirku terus untuk merubah kehidupan yang menerkam, terasa sangat gelisah, runyam, bahkan kadang patah semangat. Bukan hanya sekali atau dua kali menjerit seperti ini, tapi sudah berkali-kali, tak terhitung berapa kali aku mengulangi dengan kalimat yang sama dan di tempat yang sama. 

Saat diri ini berusaha memahami dengan berpikir positif, hati ini dipaksa ikhlas, perbuatan yang membuang waktu dipaksa cari kesibukan yang pantas, tuntutan keadaan merupakan tragedi menyakitkan, tapi tak pernah kuceritakan ke orang-orang, aku berpikir aku tak mau dikasihani, rasa gengsi dan maluku terlalu kuat sebelum aku mau mengungkapkan. 

Terkadang kondisi ini dejavu, mengingatnya berkali-kali, datang lalu hilang tak tau diri, sangat menjadi jeritan yang tak layat dicobai ke siapapun. Layaknya seperti drama ada klise flashback-nya bahkan alur majunya. 

Gazebo ini merupakan yang akan menjadi saksi bisuku dalam perjalanan hidup ini, awal adalah permulaan merangkak, hingga akhirnya nanti bisa berlari bahkan melompat. Berpikir positif, berlapang dada, berjiwa besar, menerima, dan memaafkan diri ini terlalu banyak mengeluh. 

Tapi aku masih ingat kata-kata ustadzku yang mengatakan, "solusi itu seharusnya membantu bukan menghasut." Setiap kali aku mengingatnya pastinya timbul gemuruh, tuk berhenti mengeluh, terkadang menghilangkan sikap mengeluh itu sangat sulit dilakukan. 

Closing: Sadar bukanlah solusi baik untuk merubah diri, akan tetapi perlunya sabar juga menghadapi hidup ini, menikmati dengan cara bersyukur, melalui dengan cara ikhtiar, tak ada yang salah dalam rencana Tuhan, banyak yang mengeluh bahkan menjerit terhadap permasalahan di luar sana, dengan menghadap Tuhan bisa merasa lega, walaupun pemberiannya bukan secara instan, tapi percayalah Tindakan Tuhan jauh lebih mengesankan. 

Posting Komentar

0 Komentar