Merawat Relasi Harmoni Antara Agama Dan Negara

 


Oleh : Khoerul Annam

(Pengurus UKM IMAM STAIS) 

            Dulu, hari ini, dan mungkin dalam beberapa waktu kedepan kita akan terus memperbincangkan mengenai  relasi antara agama dan negara. Bukan karena perbincangan ini tidak selesai, namun karena keberadaan kelompok yang mempertentangkan keduanya yang terus berlanjut. Pembahasannya terus mengarah pada pertanyaan, apakah agama dan negara adalah sesuatu yang kontradiktif? Apakah keduanya bisa diharmoniskan?

Tulisan ini akan memberikan sedikit gambaran untuk menjawab pertanyaan diatas. Sembari berharap agar dalam tataran praksis tidak sampai menimbulkan masalah lama yang diperbaharui kembali bagi kita yang bernegara sekaligus beragama.

            Perlu diketahui bahwa Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa sebagai Nation State/negara kebangsaan. Namun bukan berarti meninggalkan agama dalam kehidupan bernegara. Agama dan negara menjadi satu komponen tak terpisahkan. Kesadaran bernegara dan berbangsa dengan takaran yang pas bisa dikatakan sudah mendarah daging dalam tubuh manusia Indonesia, baik secara psikologis maupun pemikiran. Konsep Bhineka Tunggal Ika merupakan sublimasi dari semangat berbangsa dan beragama. Makna yang tersemat didalamnya tidak bertentangan dengan semangat ajaran beragama yakni membawa kedamaian bagi seluruh manusia. Agama Rahmatan Lil Alamin.

Namun belakangan kembali muncul narasi propaganda ditengah masyarakat bahwa kehidupan bernegara dan beragama yang saat ini kita jalani perlu digugat. Gugatan tersebut menginginkan agama yang diterapkan sepenuhnya bahkan dalam sistem tata kelola negara. Menurutnya sistem yang demikian dapat menjadi alternatif penyelesaian segala masalah.

Ini bukanlah hal baru, meningat setiap musim selalu dilontarkan oleh para oknum separatis dan fanatik akut, sebut saja eks HTI dan simpatisannya. Mereka tanpa lelah menggoreng dan menghidangkan prodak khilafah dengan narasi provokatif. Antara agama dan negara diposisikan menjadi sesuatu yang kontradiktif yang tidak jarang menginisiasi permusuhan antar kelompok masyarakat.

Dibalik semua itu, banyak dari publik yang bertanya, apakah memang benar demikian?. Apakah benar agama dan negara adalah sesuatu yang kontradiktif dan tidak bisa diharmoniskan?. Dan apakah arti beragama dan bernegara yang sebenarnya?.

Agama adalah keyakinan spiritual yang dipilih atas dasar kebebasan sebagai manusia yang merdeka tanpa paksaan dan intimidasi. Sedangkan negara adalah suatu komunitas atau  kelompok masyarakat yang sepakat hidup dalam naungan ikatan yang sama dengan segala pengharapan terhadap keadilan danketerjaminan hak. Agama dan negara tidak harus dikaitkan secara konstitusional, namun dalam pelaksanaan hukum agama (syariah) tidak bertentangan dengan negara, seperti yang diterapkan di Indonesia.

Hal ini selaras dengan pandangan Gusdur bahwa agama dan negara tidak boleh dipertentangkan satu sama lain. Hubungan harmonis diantara keduanya sangat penting sebagai solusi hambatan pembangunan baik dalam konteks bernegara maupun beragama itu sendiri. Disini menjadi penting menyatukan perspektif dan mengkorelsikan antara pihak penanggung jawab ideologi negara dengan pimpinan gerakan-gerakan keagamaan. Ini menjadi langkah jitu menghindari perpecahan yang mengganggu roda pembangunan yang terjadi akibat dari munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang mengambil tindakan berseberangan secara politis.

Kita bisa mengambil contoh tindakan yang menggambarkan secara jernih bagaimana negara dihadirkan oleh Gusdur dimasa lalu bagi kaum agama minoritas yang tertindas. PP No. 6 Tahun 2000 dan penetapan Hari Imlek sebagai hari libur nasional adalah salah satu tindakan heroik oleh Gusdur bagi etnis tionghoa waktu itu. Kebebasan berbisnis dan berdagang yang dibatasi bahkan dilarang bagi etnis tionghoa menjadi salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi dan keadilan social saat itu. Namun dengan PP tersebut, satu bentuk diskriminasi berhasil diatasi. Hingga saat ini, Gusdur menjadi sosok yang sangat dihormati oleh kalangan Tionghoa Indonesia.

Gusdur mengajarkan kepada kita bahwa didalam bernegara dan beragama tidak ada kasta pembeda. Tidak ada klaim merasa paling istimewa dan berkuasa dari yang lain. Semua sama rata sama rasa dihadapan hukum dan keadilan.

Indonesia menjadi negara yang sangat memungkinkan menghendaki warganya untuk 100% beragama dan 100% bernegara. Dengan 5 dasar bernegara dan berbangsa yang ada dalam Pancasila menjadi formulasi paling tepat dan tak terbantahkan hingga hari ini.

Kesetaraan yang terlaksana akan menuju tujuan utama yakni keadilan. Keadilan berkaitan dengan kesejahteraan bagi semua warga negara khususnya kaum mustazd’afin. Tidak melihat latar belakang dan kedudukan kekuasaan. Keadilan menjadi harga mutlak suksesnya pemimpin mengelola kekuasaannya. Jika kesetaraan dan keadilan sudah terwujud dengan baik dan semestinya tentu konflik yang rentan terjadi akibat keberagaman identitas dan semacamnya bisa dihindarkan. Keberagaman tak lagi menjadi hal yang bersifat kontradiktif dan perlu dipertentangkan.

Disisi lain negara menjamin perlindungan warganya sehingga bisa menjalankan ibadah keagamaan dengan nyaman tanpa todongan moncong senjata. Semua kegiatan hari besar keagamaan dimasukan kedalam kalender sebagai hari libur nasional adalah sedikit bukti bahwa negara bisa hadir dan berharmonisasi dengan agama.

 Lantas jika sudah demikian, masih perlukah memaksakan mendirikan negara agama? Atau sebut saja negara khilafah ala HTI? Tentu kita sudah dapat menjawabnya. Kalau faktanya kita hidup saling berdampingan dengan damai dalam bingkai negara dan agama, maka tidak perlu lagi mempertanyakan keduanya. Ketika ada pihak yang berisik menyuarakan solusi yang diluar kebiasaan yang sifatnya provokatif, bisa dipastikan, mereka adalah agen pemecah persatuan bangsa.

            Menghadapi fenomena itu perlu kiranya kita memperkuat kembali pemahaman tentang Islam wasatiyah atau Islam moderat. Islam yang tidak anti dengan perbedaan, tidak fanatik buta dan mengklaim diri paling benar. Jadilah muslim yang mengayomi dan menerima semua kalangan. Ini sejalan dengan ungkapan dari Sayyidina Ali, “Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.

            Prinsip bernegara dan beragama yang memandang ramah satu sama lain  mesti dan harus kita usahakan bersama. Mengenai bentuk negara dan ideologinya, sudah lama rampung dan final. Indonesia bukan negara agama, tapi Indonesisa adalah negara beragama. Semua kemajemukan didalamnya harus terjaga dalam kerukunan dan persatuan.

Posting Komentar

0 Komentar