New Normal dan Perubahan Konsumsi Masyarakat


Oleh : Firda Amaliyah
(Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah STAIS Ang. 2019)

Krisis Covid-19 telah begitu ekstrim mengubah perilaku konsumen. Setelah kurang lebih empat bulan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, pemerintah melonggarkan pembatasan sosial distancing. Sedangkan pandemi corona masih berlangsung. Namun, hal ini bukan berarti masyarakat dapat hidup bebas seperti sebelumnya, kondisi seperti ini disebut dengan Fase New Normal.

Proses menuju new normal di tengah pandemi corona tidaklah mudah. Masyarakat perlu beradaptasi sambil tetap menjaga kesehatan tubuh dan mental. Wabah Covid-19 tidak hanya memaksa sebagian usaha untuk merancang kembali model bisnis yang sesuai dengan kondisi pandemi. Rupanya, wabah juga mengubah bagaimana perilaku konsumen. Kebijakan baru serta kebiasaan hidup menjalani karantina selama beberapa bulan tentu saja mengubah pemikiran, gaya hidup, dan pola konsumsi masyarakat.

Keterbatasan gerak dan pilihan juga berdampak pada kebutuhan konsumsi masyarakat. Kondisi yang serba tidak menentu membuat konsumen menjadi lebih berhati-hati dalam memenuhi kebutuhan hidup. Konsumen pada fase new normal akan cenderung memperhatikan nilai pada produk yang memiliki fungsi dan nilai untuk memenuhi   kebutuhan. Prediksi perubahan – perubahan yang akan terjadi saat new normal diberlakukan adalah sebagai berikut :

Pertama, Sejumlah restoran masih mencari bentuk layanan new normal (kenormalan baru) di situasi tidak normal akibat pandemi Covid-19 setelah kebijakan pelonggaran karantina dilakukan, dan membuat banyak  tempat makan kembali buka. Tetapi dengan menghindari  makan diluar bersama teman-teman menggunakan masker. Dan lebih memilih memasak dirumah lebih menghemat biaya dan tidak perlu memakai masker ketika berada diluar.

Kedua, Self distancing yang permanen akan melahirkan gaya hidup baru yaitu: “contact free lifestyle“. Belanja dilakukan secara online untuk menghindari paparan virus. Menerima barang dari layanan antar cukup di depan pintu tanpa kontak fisik. Menghindari kerumunan seperti nonton konser musik atau Menghindari olahraga yang “contact-intensive” seperti gulat, basket, bahkan sepakbola. Mengurangi kegiatan itu pun akan meminimalisasi pengeluaran untuk membeli hand sanitizer sebagai langkah untuk mencegah masuknya virus melalui tangan.

Ketiga, ketika konsumen sudah terbiasa dengan stay at home maka mereka mulai mencoba berbagai hal baru yang menyenangkan. Salah satunya melakukan self-care atau peremajaan diri seperti facial, meni-pedi, spa. Maka tren do it yourself (DIY) ini dapat menjadi kenormalan baru dan pembelian produk-produk self-care secara otomatis mengalami kenaikan. 

Keempat, Work from Home memunculkan tren baru “zoomable workplace“ di rumah. Tren ini dipicu oleh popularitas aplikasi Zoom untuk meeting virtual. Ini memicu biaya pembelian kuota melonjak pada masa pandemi di sejumlah agen kuota. Dengan melonggarkan kebijakan dirumah saja membuat pengeluaran kuota menurun karena kantor, sekolah hingga kampus sudah membuka layanannya dengan memberlakukan protokol kesehatan.

Kelima, Krisis Covid-19 juga turut membuat kecurigaan antar warga meningkat di masyarakat. Beberapa kasus penolakan jenazah positif Covid-19, pengusiran tenaga kesehatan karena takut tertular atau penolakan pemudik oleh masyarakat di kampung saat lebaran, menciptakan kondisi yang saya sebut “masyarakat kepercayaan rendah “. Social distrust di antara anggota masyarakat akan semakin tinggi.

      Pembatasan sosial juga menyebabkan konsumen lebih memilih untuk membeli kebutuhan dalam jumlah banyak sekaligus untuk berjaga-jaga. Pakai masker, meeting virtual, kuliah online, jaga jarak, selalu cuci tangan (menggunakan hand sanitizer) dan mengurangi aktifitas tongkrongan sepertinya akan menjadi kehidupan normal yang baru.

Posting Komentar

0 Komentar