Memulihkan Pedagang Kaki Lima Pasca Corona


Oleh: Fauziah Handayani
Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah STAIS Angkatan 2019

Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) resmi menetapkan wabah Corona Virus Disease atau Covid-19 sebagai Pandemic sejak Januari. Virus ini menyebar hampir diseluruh bagian bumi, melanda 210 negara. Pemerintah di negara maju maupun berkembang masih berupaya menghentikan penyebaran virus corona jenis baru ini, SARS-CoV-2. 

Beberapa negara seperti Amerika, Irak dan Iran juga Cina sebagai negara asal virus ini memberlakukan sistem lockdown guna menekan angka kasus terinveksi Covid-19. Masyarakat diwilayah yang memberlakukan lockdown tidak dapat lagi keluar rumah dan berkumpul, sementara semua transportasi dan kegiatan perkantoran, sekolah, maupun ibadah dinonaktifkan.

Kendati demikian, definisi lockdown sebenarnya masih belum begitu jelas dan belum disepakati secara global. Penerapan lockdown di setiap negara atau wilayah memiliki cara atau protokol yang berbeda. 

Misalnya di Wuhan Tiongkok, lockdown diterapkan secara total. Selama diberlakukan lockdown, seluruh warga di kota tersebut dilarang keluar rumah dan semua area publik seperti mall dan pasar ditutup. Sementara di Spanyol dan Italia, kebijakan lockdown disana masih memperbolehkan warganya pergi keluar rumah untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan membeli obat-obatan. 

Kebijakan yang saat ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dimana hanya dilakukan pembatasan pada kegiatan tertentu untuk menekan penyebaran infeksi.

Kebijakan lockdown juga berdampak pada perekonomian masyarakat dan negara. Karena tidak dapat keluar rumah, banyak warga yang kesulitan mencari nafkah. Hal ini tentu akan lebih dirasakan oleh orang-orang yang tidak dapat bekerja dari rumah.

Hasil Sensus Ekonomi 2016 mendata jumlah usaha non pertanian di Indonesia mencapai 26,7 juta angka. Jumlah ini meningkat 17,6 persen dibandingkan jumlah usaha saat Sensus Ekonomi 2006 yang tercatat sebanyak 22,7 juta usaha. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari total jenis usaha tersebut, sekitar 70,8 persennya merupakan kategori usaha tidak menempati bangunan. Jenis usaha tersebut misalnya pedagang keliling, pedagang kaki lima, usaha dalam rumah tempat tinggal dan sebagainya. Sisanya sebanyak 7,8 juta adalah jenis usaha yang menempati bangunan khusus sebagai tempat usaha.

Pembahasan akan mengerucut pada PKL. Pedagang kaki lima atau yang sering disebut PKL merupakan sebuah komunitas yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk mengais rezeki dengan menggelar dagangannya atau gerobaknya di pinggir pinggir perlintasan jalan raya. 

Bila melihat sejarah dari permulaan adanya Pedagang Kaki Lima, PKL sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda. Jumlah PKL seluruh Indonesia berdasarkan data Asosisasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) sebanyak 22,9 juta yang mayoritas usaha mikro.

Ditinjau dari sisi positifnya, sektor informal Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan sabuk penyelamat yang menampung kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung dalam sektor formal, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. 

Kehadiran PKL di ruang kota juga dapat meningkatkan vitalitas bagi kawasan yang ditempatinya serta berperan sebagai penghubung kegiatan antara fungsi pelayanan kota yang satu dengan yang lainnya. 

Selain itu, PKL juga memberikan pelayanan kepada masyarakat yang beraktivitas di sekitar lokasi tersebut, sehingga mereka mendapat pelayanan yang mudah dan cepat untuk mendapatkan barang yang mereka butuhkan.

Pada umumnya barang-barang yang dijajakan PKL memiliki harga yang relatif terjangkau oleh pembelinya, dimana pembeli utamanya adalah masyarakat menengah kebawah yang memiliki daya beli yang rendah. 

Keberadaan PKL yang banyak menjamur di sudut-sudut kota bisa menjadi potensi pariwisata yang cukup menjanjikan sehingga berdampak positif dari segi sosial dan ekonomi, karena sektor informal pada dasarnya memiliki karakteristik efesien dan ekonomis.

Di tengah pandemi Virus Corona atau Covid 19, PKL ini merasakan kerugian akibat tidak adanya pendapatan dikarenakan adanya pembatasan wilayah berskala besar bahkan tidak jarang pemerintah memustuskan membongkar lapak untuk memutus mata rantai penyebaran. Gerakan dirumah saja membuat perekonomian pedagang kaki lima semakin merosot. 

Seperti kasus PKL dikawasan Dermaga Pasar Pagi Samarinda yang telah dilakukan pembongkaran lapak oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Hal ini tentunya berimbas pada pendapatan mereka, dimana mengalami kerugian karena lapak mereka dibongkar sehingga tidak dapat berjualan, bahkan setelah pandemic berlalu.

Pedagang lainnya, Malvin di Jl. Simpang Empat Loktuan Bontang juga mengeluhkan hal yang sama. Beliau mengaku mengalami penurunan omset hingga 80 persen akibat social distancing dan maraknya pasien positif Covid-19 di bontang. Malvin mengatakan, saat ini penjualanya sangat sepi karena himbauan pemerintah yang meminta masyarakat mengurangi aktivitas diluar rumah. 

Dagangannya yang buka dari pukul 17:00 wita hingga 22:00 wita hanya dikunjungi pembeli dengan rata-rata empat sampai lima orang dalam sehari. Berkaca sebelum adanya wabah Covid 19, beliau mengaku dalam sehari bisa mendapatkan pemasukan sampai 1 juta dari berjualan tetapi sekarang hanya dapat 50 ribu sampai 100 ribu saja.

Halimah pedagang kue di Sangatta, mengaku mengalami penurunan pembeli karena sepi. Namun beliau tetap nekat berjualan di tengah pendemi untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari dirinya bersama suami dan anak-anaknya. 

Selama Corona hasil jualannya hanya mendapatkan Rp 20 ribu, berbeda sebelum corana bisa dapat Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu perhari. Halimah atau yang akrab di panggil Mama Nira biasanya berjualan didaerah Jalan Majai dan sekitar Sangatta Lama.

Melihat beberapa kasus yang cukup mewakilkan realita kehidupan PKL selama pandemi ini, maka pemerintah diharapkan memberi kemudahan kepada PKL untuk mendapatkan permodalan. Jumlah PKL yang mencapai 25,1 juta orang di seluruh Tanah Air merupakan potensi besar untuk membangkitkan perekonomian Nasional. 

Jika pelaku UMKM termasuk PKL diberi kemudahan akses permodalan tanpa agunan dan bunga terjangkau. Dengan begitu maka perekonomian rakyat akan bangkit kembali, tidak menutup kemungkinan ekonomi bangsa kita bisa kembali ke pangkuan ibu pertiwi bahkan sejak fase New Normal.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan akses berupa pembinaan dan pelatihan untuk para PKL. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan dan pendampingan mengenai manajemen usaha, meliputi manajemen produksi, manajemen keuangan sederhana, manajemen produksi, dan pemasaran. 

Usaha tersebut mungkin adalah kerja-kerja kecil dan sepele, namun jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan sesuatu yang besar.

Posting Komentar

0 Komentar