SENYUM SELEPAS MENDUNG



Pagi itu butiran-butiran air menyapa di awal Juli. Tetesannya jatuh dari genting membuat sebuah genangan tepat di bawahnya. Angin dingin mendesau menyibakkan jilbab wanita yang berdiri beberapa meter di samping pria yang juga sedang bernaung pada sebuah warung kecil dari tetesan air langit yang  mengguyur kota kecil itu.

Pria itu hendak berangkat ke tempat kerja. Sambari menunggu, dia membeli kopi kalengan yang berada di lemari penyejuk. Ketika menerima angsulan dari pemuda empunya warung, angannya kembali memutar bayang kejadian beberapa tahun silam. Tanpa sadar pria yang bernama Rian itu terhanyut dalam lamunannya. Dia melihat pemuda  tadi seperti dirinya dikala itu. Teringat bagaimana ia menyelesaikan pondok pesantrennya selama 7 tahun di sebuah desa kecil yang bernama Tegalmulyo Jawa Tengah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk merantau ke Kalimantan Timur.

Bukan jarak yang dekat, bukan pula tekad kuat yang membuatnya untuk sampai ke tanah Kutai ini. Hanya dia ingat pesan Almarhum Abah nya. Selepas lulus, datangi si Fulan di Kalimantan Timur tepatnya di kota kecil bernama Sangatta,

“Merantaulah agar kau mengerti makna kehidupan”. Pikirnya sebagai sulung ia adalah adalah tulang punggung dari tiga orang adik perempuan dan Ibu yang kini seorang diri. Ia mengikuti pesan Abah nya. Dengan numpang di tempat kenalan yang di pesankan oleh Almarhum Abah nya, Rian akhirnya meniti hidupnya seorang diri dari awal. Tanpa mengenal seorangpun –kecuali keluarga yang kini ditumpanginya–, tanpa kerjaan, dan dengan rupiah yang tersisa di saku nya hanya 5 ribu.
“Makan apa dengan uang segini?” batinnya.

Tak enak hati yang ia rasakan, sebenarnya ia bisa saja makan bersama keluarga yang ditumpanginya itu, tetapi keluarga itu juga hidup dengan pas-pasan. Memiliki tempat bernaung secara cuma-cuma saja Ia sudah bersyukur. Ia memilih untuk lebih sering berpuasa. Makan enak hanya sesekali, itupun kalau ada undangan hajatan tetangga. Hidup di perantauan tak semudah yang dia pikirkan. Lika-liku kehidupan sudah Rian mewarnai masa mudanya.

 Karunia Allah, berkat berdo’a pada Rabb-Nya, setelah menunggu berbulan lamanya, Rian ditawarkan pekerjaan  oleh bapak yang ia tumpangi rumahnya. Seorang kenalan bapak tersebut sedang mencari karyawan untuk bekerja di koperasi Madrasah Aliyah.

Tanpa pikir panjang Rian menyanggupi pekerjaan tersebut. Tak terasa setahun sudah ia melakoni pekerjaan sebagai penjaga koperasi. Asanya untuk melanjutkan pendidikan kemabli hidup. Dengan ijazah pondok pesantren, ia mendaftar ke perguruan tinggi yang ada di kota Sangatta, perguruan tinggi tersebut membebaskan biaya SPP.

Hari demi hari ia lalui dengan penuh kesabaran, rupiah demi rupiah ia kumpulkan, yang nanti akan di gunakan untuk menyekolahkan adik-adiknya. Ia punya mimpi, adik-adiknya bias sekolah setinggi mungkin.

Suatu hari menjelang sore.
“Rian, aku boleh gak minjam uangmu? Aku lagi butuh banget ini. Mamak ku lagu butuh buat biaya obatnya ” tanya seorang wanita yang baru ia kenal 2 bulan terakhir.
Mamak mu sakit? Kamu butuh berapa? Sebenarnya aku juga gak ada uang cash, tapi aku punya uang di tabungan. Kamu pake aja dulu uang di tabunganku.” tanpa pikir panjang Rian memberikan kartu ATM nya.

Pasca pertemuan itu, si wanita tiba-tiba menghilang, tanpa kabar. Rian mencoba menghubunginya dengan segala cara, tetapi nihil. Wanita itu menghilang dengan tabungannya. Wanita yang telah ia percayai sebagai teman paling terdekatnya saat ini.

Kecewa, sedih, bingung bercampur menjadi satu. Perasaan menyalahkan diri sendiri lebih dominan. Tabungan yang dia siapkan untuk masa depan adik-adiknya kini hilang sekejap mata. Ia pun tersadar, semua ini adalah jalan yang telah Allah gariskan untuknya.

Rian bangun dari keterpurukannya, menjajal kembali impian yang sempat pupus. Perlahan memori pahit ia lupakan. Sampailah ia dinyatakan resmi menjadi seorang sarjana.  Tak lama berselang ia diterima menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketiga adiknya berhasil ia kuliahkan di Kairo dan ia dapat memenuhi segala kebutuhan Ibunya. Senyum merekah di wajahnya. Dunia telah berpihak padanya.

 “Pak..pak, ini kembaliannya” senggol pemuda yang menjaga warung tersebut.
Rian tersadar dari lamunannya.
“ Ohh i..i..iya iya dik..terimakasih”.
Setelah menerima angsulannya, Rian kembali tertegun. Membuatnya semakin bersyukur atas capaiannya sekarang. Rencana boleh tak sesuai dengan harapan, ketika asa telah patah berkali-kali, yakinlah ada hal besar yang sedang menanti.
Kini cahaya sang mentari menyeruak di balik celah-celah gegana. Cuaca seperti berkonsolidasi dengan senyum dan hatinya. Rian menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan perjalanan dengan kuda besinya

Oleh : Annisa Safitri

Posting Komentar

0 Komentar