Menolak Transaksi Rekonsiliasi



Rekonsiliasi sejatinya adalah jampi.  Ia berfungsi menyembuhkan luka, menghapus nyeri dan membangun peradaban. Tengoklah Rekonsiliasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula, dan perbuatan menyelesaikan perbedaan. Rekonsiliasi bukan berarti harus bergabung antara dua kubu, namun menghentikan pertikaian politik,dan  kembali pada posisi masing, demikian menurut Mahfud MD.

Rekonsiliasi bukan hanya pengutaraan pers atau keterangan publik, apalagi dimaknai sebagai transaksi politik untuk mengamankan “piring masing-masing”, bagi-bagi jabatan misalnya. Jika pemaknaan rekonsiliasi bermakmum pada pemaknaan berbagi jatah, itu berarti  sekedar omongan belaka alias rekonsiliasi semu.

Rekonsiliasi memnag menjadi wacana familiar setelah perhelatan pemilu 2019. Terlebih jejak destruktif pemilu masih terus bargayuh kendati sidang sengketa Pilpres sudah selesai di Mahkama Konstitusi. Misalnya saja narasi Cebong-Kampret sebagai sebutan pendukung setiap pasangan calon. Kendati Jokowi dan Prabowo telah bertemu, kalangan pendukung  masih saling menghujat dan membenarkan opini masing-masing. Gejolak sosial akibat kontastasi politik ini sangat terasa di setiap penjuru Indonesia. Sebuah pekerjaan rumah yang menguras tenaga untuk menghapusnya dibenak publik.

Narasi diatas kemudian bertambah parah setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pilpres yang memenangkan Jokowi-Ma'aruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Mulai saat itu narasi kecurangan digaungkan diikuti dengan gerakan - gerakan people power yang disponsori oposisi. Lagi-lagi, kendati Jokowi dan Prabowo telah bertemu, narasi curang dan menolak hasil pemilu dikalangan rakyat pendukung masih saja terdengar.

Salah satu bukti perpecahan semakin memuncak yaitu ketika darah rakyat mulai bertumpah ruah. Atas dasar pertikaian politik, korban berjatuhan, ada yang luka-luka ada pula yang bertaruh nyawa. Mereka adalah rakyat pendukung, aparat, dan masyarakat awam. Dendam antar rakyat tidak bisa terhindari dan sembuh hanya karena Jokowi dan Prabowo telah bertemu. 

            Sekelumit luka diatas seyogyanya bisa terobati dengan menempatkan rekonsiliasi pada pemaknaan sesungguhnya. Melihat  terpecahnya masyarakat menjadi dua kubu ,rekonsiliasi diharap menjadi jembatan penghubung untuk menyatukan kembali pihak yang bertikai, rakyat. Maka demi memenuhi ekspektasi itu para potisi tidak seharusnya memasang harga yang berujung pada rekonsiliasi  bagi-bagi kursi. Rekonsiliasi juga tidak mengharuskan menanggalkan pandangan politik dengan bergabung menjadi satu koalisi dipemerintahan. Bukankah demi kemajuan bangsa Indonesia posisi oposisi juga penting adanya? Negara ini juga butuh politisi yang berani kritis atas berbagai kekurangan dalam pemerintahan yang sangat mungkin terjadi.  Bukankah demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan atara chek and balance?
            Yang harus dilakukan selanjutnya adalah memihakkan rekonsiliasi pada kepentingan rakyat. Rekonsiliasi hakikatnya bisa berdampak kontstruktif pada rakyat, yang dalam konteks politik mereka adalah konstituen para politisi yang bertikai. Hal-hal yang mendasar dan bersentuhan lansung dengan rakyat harusnya dijadikan isi rekonsiliasi itu sendiri. Lihat saja kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas sejak 20 tahun yang lalu, rusaknya lingkungan akibat liberalisasi ekonomi, problematika agrarian yang masih sering menggusur rakyat pinggiran, aksesibilitas pendidikan yang susah akibat mahalnya biaya sekolah dan kuliah, hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas dan berbagai permasalahan lain yang tidak terhitung jumlahnya.

Komitmen itulah yang ditunggu rakyat atas simpulan rekonsiliasi yang selama ini digaungkan. Hanya dengan menjunjung tinggi kepentingan rakyatlah yang mampu mengobati luka politik yang sudah dibuat. Bukan dengan mengorbitkan sikap rakus dan ambisi duniawi pribadi para politisi.  Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali berkata “sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi diniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil”. Wallahu A’lam

Oleh : Khairy Alfakih

Posting Komentar

0 Komentar