Pendidikan Sebagai Public Service Obligation



         Pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia. Setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan ini  tanpa ada pembatasan, baik dalam akses mereka memperoleh pendidikan maupun tingkat pendidikan yang akan mereka ikuti. Negara wajib membiayai pendidikan bagi semua warga negara dengan gratis.
       Hal ini dijelaskan dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen mengatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.  Berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban yaitu: menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi warga negara.
        Menyelenggarakan pendidikan berarti negara harus menyediakan tempat/sekolah, pendidik, sarana dan prasarana sehingga kegiatan belajar mengajar tersebut bisa berjalan. Membiayai pendidikan artinya negara harus menyediakan dana/anggaran agar kegiatan belajar-mengajar yang melibatkan pendidik, sekolah, sarana dan prasana bisa teralisir.
      Menyelenggarakan pendidikan merupakan salah satu pelayanan negara kepada wargannya (public service obligation), yang bertujuan untuk mencerdaskan mereka. Karena pendidikan merupakan hak asasi, maka tidak diperbolehkan adanya pembatasan kepada setiap warga negara untuk mendapatkannya. Tidak ada diskriminasi apakah warga itu tinggal di kota atau di pedalaman, apakah mereka orang miskin atau orang mampu, negara wajib menyediakan layanan pendidikan ini.
         Pendidikan merupakan hal penting yang harus diperhatikan negara. Pendidikan merupakan cara formal yang dilakukan negara untuk mencerdaskan warga, sehingga akan dihasilkan sumber daya manusia yang memiliki daya saing. Dari proses pendidikan akan lahir para intelektual, politisi, ilmuwan, negarawan, guru dan profesi lainnya. Oleh sebab itu, warga harus diberikan akses bisa mendapatkan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi. Jika dengan kuliah di perguruan tinggi akan dihasilkan kader-kader yang berkualitas untuk kemajuan negaranya.
        Menjadi kewajiban negara untuk mengalokasikan anggaran guna bisa terselenggaranya amanah tersebut dengan baik. Bagaimana bisa negara membiayai dana pendidikan? Tentu saja dari dana yang diperoleh dari sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri ini. Dengan sumber daya alam yang ada, baik itu yang berada di daratan seperti tambang, maupun sumber daya laut, yang ikannya melimpah, hingga dicuri negara lain, lebih dari cukup untuk membiayai pendidikan dengan gratis. Tentu saja jika semua sumber daya alam tersebut dikelola dan miliki oleh negara sendiri.
        Karena itu mendidik warganya menjadi cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan investasi negara. Sehingga nagara akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang ada. Tidak perlu lagi mengundang negara asing untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang ada.
      Sementara anggaran pendidikan dalam RAPBN 2017 sebesar Rp. 39.823 triliun. Anggaran ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan anggaran tahun 2016 yang mencapai angka Rp 49,232 triliun. Alokasi anggaran ini untuk Program Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Program Peningkatan Kualitas Sumber Daya Iptek dan Perguruan Tinggi, Program Penguatan Riset dan Pengembanga, dan Program Penguatan Inovasi. Penggurangan anggaran ini sangat disayangkan, karena dengan sendirinya akan mengurangi belanja pada sektor lain. Sementara kondisi pendidikan di Indonesia masih membutuhkan penopang dari negara dengan maksimal karena ini merupakan amanah Undang-undang sebagai kewajiban negara untuk mencerdaskan warganya.
        Memang telah dilakukan upaya untuk mengurangi peran negara (pemerintah pusat) dalam mengurusi masalah pendidikan. Paradigma ini terjadi sejak kelahiran UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU ini, hampir semua urusan pemerintahan di negeri ini telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, kecuali tiga urusan, yakni urusan politik luar negeri, keuangan dan agama. Bidang pendidikan termasuk salah satu urusan yang pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

        Penulis berpendapat, kebijakan ini sejatinya upaya negara melepaskan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan, dan menyerahkan kepada swasta. Ini merupakan bentuk liberalisasi pendidikan yang berbahaya, karena akan ada diskriminasi dalam memperoleh hak asasi ini. Hanya mereka yang mampu membayar, yang bisa memperoleh pendidikan sampai level tinggi, sementara yang tidak mampu harus menerima keadaan.
              Sebagai sebuah indikasi atas liberalisasi ini, kita telah mengamini peran dan kerja keras pemerintah Kutai Timur dalam mewujudkan pendidikan tinggi yang gratis bagi warganya. Salah satu produknya adalah dengan mendirikan STAI Sangatta sebagai perguruan tinggi yang didanai oleh daerah, itupun hanya sekedar dana hibah.  Namun baru mencapai usia 10 tahun berproses, hiruk pikuk rencana pencabutan subsidi pendidikan tinggi ini mulai dibicarakan, hal tersebut bisa terlihat dengan terus dikuranginya sumbangsi anggaran daerah ke STAI Sangatta. Jika 2016 lalu STAI Sangatta mendapat alokasi anggaran 5 Milyar rupiah, maka tahun 2017 hanya mendapat 3 Milyar rupiah, itupun dicairkan bertahap. Belum lagi, wacana peralihan pembiayaan yang akan dibebankan kepada mahasiswa yang telah mendapat lampu hijau dari pemerintah daerah, sontak membuat kaget para mahasiswanya karna harus siap membayar layaknya perguruan tinggi lain yang sudah mapan kualitas akademiknya dan bergelimang prestasi. Seyogyanya menjadi tanggung jawab moral daerah untuk terus berusaha menghidupi pendidikan karena Kutai Timur disebut-sebut sebagai salah satu daerah dengan APBD terkaya. Bisa jadi model macam ini adalah bagian dari efek skenario dari liberalisasi pendidikan itu. 

(Ditulis oleh Triyani Prihatinah/Redaktur LPM Gazebo STAIS)

Posting Komentar

0 Komentar