(Oleh Fachru Rizal
Zami)
Alarm handphone memberhentikan aku dari bunga tidur yang buruk
semalaman. Segera kubuka dan kupandang handphoneku, terlihat waktu sudah hampir
masuk subuh. Pikiranku tidak lepas dari pesan singkat yang sengaja kukirim
kepadanya tadi malam, yang aku tahu dia hanya membacanya tanpa menuliskan
jawaban atas perhatianku itu.
Sakit memang rasanya memberi perhatian kepada seseorang, tapi yang kita perhatikan tidak menghargai sama sekali.
Aku merasa seolah tidak berharga sama sekali dimatanya, seperti kulihat embun dihelai daun yang lambat laun mengering disinari sinar cakrawala dari timur. Begitu juga aku rasa perasaanku pagi ini. Tak karuan, bimbang, bertanya dalam hati, apa sebenarnya kesalahanku padanya? sebab tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Mungkin aku sudah membuatnya tersinggung? atau mungkin aku bukan lagi menjadi prioritasnya akhir-akhir ini?
Sakit memang rasanya memberi perhatian kepada seseorang, tapi yang kita perhatikan tidak menghargai sama sekali.
Aku merasa seolah tidak berharga sama sekali dimatanya, seperti kulihat embun dihelai daun yang lambat laun mengering disinari sinar cakrawala dari timur. Begitu juga aku rasa perasaanku pagi ini. Tak karuan, bimbang, bertanya dalam hati, apa sebenarnya kesalahanku padanya? sebab tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Mungkin aku sudah membuatnya tersinggung? atau mungkin aku bukan lagi menjadi prioritasnya akhir-akhir ini?
“lan, mandi
sudah.” Perintah tante yang sibuk dengan air hangat yang ia siapkan untuk
membuat secangkir kopi paman.
Segera aku bergegas mandi, kulawan dinginya air seperti kulawan
perasaanku pagi ini. Sengaja aku duduk di teras depan seusai mandi, biasanya
pada waktu sekarang ini aku sudah menerima pesan singkat darinya,biasanya itu
berupa ucapan semangat atau yang lainya. Tapi belakangan ini tak ada lagi
kutemui penyemangatku. Ahhh..bodoh sekali aku...kenapa juga aku masih
memikirkan perempuan yang seperti tidak lagi mengharapkan sebuah pertemuan
denganku. Tak sadar olehku fajar mulai mengangkasa menuntun perjalananku ke
tempatku bekerja.
Hidup memang tidak
selalu senang, begitu sering kulihat kata-kata pujangga dalam syair-syair yang
pernah kubaca. Mungkin kali ini aku sedang berada di sebuah keadaan yang tanpa
kusadari menghempaskanku ke dasar yang dipenuhi duri. Terhempas perlahan agar
tahu sakitnya sebuah peroses. Terjatuh dan ditertawakan olehnya. Ahh..entahlah
tidak karuan hatiku ini.kadang bisa ku terima keadaan ini,kadang juga aku
seperti orang bodoh menakar seberapa besar keegoanku akhir-akhir ini padanya.
“lan, praktik atau
materi kita pagi ini?” suara salah seorang teman karibku membuat aku terlepas
dari keruhnya suasana hatiku pagi ini.
“kita materi untuk hari ini”
Tak ada seorangpun yang tahu gemuruh hatiku pagi ini. Apalagi
mereka, orang-orang yang dengan
semangatnya dari tadi memperhatikan dan mendengarkan aku menyampaikan materi
sosialisasi.. Melihat wajah-wajah kecil penuh rasa ingin tahu tentang materi
ini seringkali membuatku merasa bahagia. Ya, bahagia karena paling tidak
keberadaanku sudah membuat mereka paham tentang materi yang kusampaikan.
Terkadang tanpa kusadari Tak ubahnya aku seperti guru BK yang terlalu sering
memberi nasehat pada mereka. Ya, aku hanya tidak ingin mereka terhanyut dalam
sisi buruknya pergaulan remaja akhir-akhir ini.
Jarum jam terus
berputar, mentari perlahan mulai mengangkasa,biru sudah mendominasi warna
langit. Kupandang handphone yang sengaja kutaruh di atas tumpukan buku.
Terlihat olehku waktu sudah menunjukan pukul 09:00 Wita. Terkejut aku, ternyata
ada satu pesan yang masuk beberapa menit yang lalu. Didalam hati aku sangat
berharap itu pesan darinya. Sekejap.. betapa senang perasaanku melihat bahwa
yang mengirim pesan itu adalah dia. Sayangnya bahagiaku menerima pesan itu
tertutup langsung dengan rasa sakit hati menerima kenyataan bahwa pesan itu
berisi bahwa dia sudah tidak mau mempertahankan hubungan kami.
Aku rasa merah mawar
perlahan mulai pudar, yang tersisah hanyalah warna putih kepucat-pucatan. Aku
terdiam tak tahu apa mau kuperbuat,dia adalah semangatku diperantauan ini.
Tidak cukup bagiku waktu sesingkat ini, jika boleh, aku ingin selamanya
bersamanya. Apakah ia lupa bahwa kita pernah berucap janji di tepi dinginya
angin sungai mahakam. Aku sangat terpuruk saat ini, hanya berbaring, menutup
mata, membiarkan semua keterpurukan menyelimuti pikiranku, membawa aku hanyut
ke sungai yang tak berujung, terombang-ambing oleh angin yang membawaku kembali
ke tepian tempatku mendengar suara merdu nan elok dari dirinya. Ketika dering
handphone berbunyi diantara sunyinya suasana kamarku, sempat aku tidak mau
menghiraukanya. Beberapa kali kubiarkan, masih juga handphone berbunyi.
Akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilan yang masuk itu.
“assalamualaikum, kenapa lama ngangkat telepon ibu, lan?
Rupanya ibu yang menelponku dari tadi. Seperti biasa ibu menanyakan
kabarku hari ini,baik kubilang padanya. Mungkin ibu rindu denganku,kusadari
sudah beberapa hari ini aku tidak menghubunginya via telepon. Semenjak aku
meninggalkan kampung halaman,rumah kami disana Cuma mereka bertiga saja yang
menghuninya. Ibu, bapak, dan adik. Sementara kakaku sedang melanjutkan study
dibangku kuliah yang butuh waktu tiga jam kalau dari rumah kami. Lama bercerita
dengan ibu, semua tampak baik di sana, semua sehat katanya. Alhamdulillah, setidaknya
aku bisa tenang kalau keluarga dikampung semua sehat.
Panas matahari
sudah tidak begitu terasa menyengat kulit,suara burung berkicau merdu dilangit yang berubah berwarna menjadi
kemerahan seiring tenggelamnya matahari diufuk. Suara ombak yang menghantam
bibir pantai, hempasan air yang menghantam beton pemecah ombak melayang seolah
kusangka embun diwaktu subuh. Aku pandang agung yang sibuk mengabadikan momen
sunset. Ditepi pantai bertemu langsung dengan muara yang pinggirnya berjajar
pohon mangrove, terlihat kuat akarnya tumbuh di lumpur, diterpa ombak yang
mengarah ke muara. Aku terdiam, pikiranku kembali berselimut tentangnya.
Suasana seperti ini cukup mengembalikan memori ingatanku kembali tentangnya.
“lan, sudah nggak usah dipikirin. Kamu nggak mau foto-foto juga
kah?” agung dengan senyum khasnya seolah menyindir.
Kupandang
sekeliling, semua pengunjung pantai masih sibuk menghibur diri menatap kearah
lautan nan luas yang ombaknya menghempas pemecah ombak. Para pengunjung
terlihat seolah tak pernah ada masalah, tertawa, berfoto bersama karibnya, dan
ada juga yang bersenandung dengan gitar klasik bersama temanya. Terlarut kami
dalam suasana riang pantai, kupandang jam tanganku jarum sudah membentuk sudut
lancip 45°. Agung sudah menunjukan gelagat gelisah seolah masih saja takut
kalau pulang terlalu senja. Kami bergegas pulang kerumah karena adzan maghrib
sudah berkumandang.
Hari berganti
hari, perputaran waktu begitu cepat. Tak terasa sudah enam bulan tidak ada kabar semenjak terakhir kubaca
pesan yang menyayat hati itu. Kulihat di akun media sosialnya, dia tampak sudah
dengan mudahnya menggandeng lelaki yang kulihat memang seperti orang yang jauh
lebih berada.‘‘Dia sudah dapat pelindung yang lebih kuat’’ pikirku, dia sudah
lupa suara kecil terselip haru menyebut bahwa dialah permataku. Tiada kumenaruh
dendam, dari sanubariku kuserahkan cintaku pada sang pemilik cinta, kuutarakan
bahwa lindungilah persaanya terhadap lelaki yang memang dicintainya, karena
sejak hari itu aku sadar tujuan kami sudah berbeda.
0 Komentar