RAKER Sebagai Cermin Masa Depan BEM




Organisasi didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama. Menurut James D. Mooney organisasi adalah perwujudan serikat manusia untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama tersebut dapat dicapai dengan langkah-langkah strategis yang dirumuskan dalam program kerja. Untuk menelurkan program kerja yang efektif, efesien dan strategis dalam rangka mencapai tujuan organisasi, popolerlah istilah Rapat Kerja (Raker) sebagai budaya organisasi dikalangan kaum organisatoris.

Dalam konteks organisasi kemahasiswaan Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS), Raker umumnya diprakarsai oleh (Badan Eksekutif Mahasiswa) BEM sebagai organisasi eksekutif tertinggi kampus. Forum ini biasanya melibatkan seluruh elemen kemahasiswaan baik BEM, HMJ, MPM maupun UKM-UKM. Gelaran gabungan ini sudah tidak asing lagi bagi organisasi kemahasiswaan di STAIS. Raker gabungan di laksanakan setiap awal priode kepengurusan dan menjadi agenda wajib bagi pengurus. Raker bagi organisasi BEM atau HMJ bukan hanya sebagai ajang menentukan program kerja, namun juga sebagai ajang perjuangan ide dan gagasan masing-masing pengurus dalam rangka mendorong kemaslahatan STAIS pada umumnya dan mahasiswa khususnya. Raker gabungan juga diharapkan menghindari tumpang tindih program yang berpotensi memecah sinergitas dan solidaritas pengurus organisasi kemahasiswaan STAIS.

Singkatnya Raker adalah sebuah peroses perencanaan kerja BEM selama pengabdian satu tahun ke depan, hasilnya merupakan cermin arah gerak BEM yang menjadi batu loncatan untuk kepengurusan.

Dengan berbagai urgensi fungsinya diatas, Raker tahun ini meskipun berjalan dengan lancar, namun masih jauh dari ideal, beberapa hal perlu menjadi catatan forum ini. Pertama, penempatan tempat pelakasanan. Salah satu harapan yang selalu hadir diawal periode kepengurusan BEM adalah munculnya wajah baru kampus sebagai ruang dialektis para aktivis. Kampus harus didesain sebagai istana ide para aktivis, bukan sekedar ruang-ruang kelas mahasiswa “kupu-kupu”, yang bisa mendesain rupa itu tidaklah salah jika ditumpukan pada BEM .

Dengan memilih lokasi Raker dilaksananakan diluar kampus, membangun kesan bahwa BEM mengenyampingkan fungsi kampus sebagai kandang intelektualnya. Terlebih memilih taman sebagai lokasi forum seperti Raker justru membuat kita khawatirkan aktivis BEM terbawa arus hedonisme, yang seharushnya berjarak dengan mereka. Memang tidak harus segala kegiatan BEM dilaksanakan didalam kampus, namun dengan momentum awal kepengurusan, sepatutnya kita berharap BEM bisa menghidupkan kampus sebagai ruang dialektika dan berbagai kegitan produktif.

Kedua, komitmen kepengurusan. Sebagaimana diketahui, pengurus BEM-HMJ baru saja mengucapkan ikrar/sumpahnya sebagai bentuk komitmen mereka untuk menghidupkan roda organisasi kampus. Tercatat ada kurang lebih 90 orang yang tercatat sebagai pengurus BEM maupun HMJ, 40 diantaranya adalah pengurus BEM. Sayangnya Raker yang di lakukaan setahun sekali ini tidak di hadiri seluruh pengurus BEM begitupun HMJ. Forum yang ditujukan untuk merumuskan gerakan BEM setahun kedepan ini hanya di hadiri setengah dari kepengurusan,40-50-an orang.

Tentu terlalu dini untuk menjustifikasi bahwa pengurus BEM tidak berkomitmen pada ikrarnya, namun BEM selayaknya memperlihatkan keseriusan pengurus dalam priode 2019-2020. Bagaimana kita harus memberikan predikat komitmen itu, jika dalam rangka merumuskan gerakan BEM diawal periode saja, pengurus BEM mulai berangsur hilang. Meskipun dilain sisi kita harus mengapresiasi komitmen pengurus lainnya, namu wajar jika kita kemudian bertanya, apakah pengurus hanya sekedar menumpang nama saja? Kita butuh partisipasi mahasiswa dalam membangun marwah organisasi, terlebih pengurus BEM secara total.

Ketiga, metode atau mekanisme Raker. Sebagai bagian dari forum ini, tentu adalah tugas bersama untuk membenahi mekanisme Raker yang mulai “acak adul” beberapa tahun belakang. Forum Raker yang berjalan tidak teratur dan sistematis menunjukan ada budaya organisasi yang hilang dalam forum Raker.

Misalnya saja kepengurusan tidak membawa rancangan kerja dalam bentuk hard copy, pun rancangan program tidak bisa dilihat secara bersama lewat LCD. Hanya LPM Gazebo yang membawa rancangan kerja tersebut secara kongkrit, baik softcopy maupun hardcopy. Hal ini diperparah dengan menjamurnya budaya “buka forum dalam forum” saat raker, akibatnya presentasi program kerja tidak bisa diserap secara maksimal. Mekanisme Raker yang digelar non-formal, juga berimbas pada keseriusan BEM dalam merumuskan kerja-kerja periodik. Dalam hal ini fungsi Presiden BEM sebagai pimpinan tertinggi dalam lembaga eksekutif kampus sangat sentral untuk memimpin pelaksanaan rapat kerja yang mengundang banyak organisasi kemahasiswaan lainnya.

Keempat, hasil yang bias. Implikasi dari poin sebelumnya adalah tidak jelasnya hasil forum ini. Sejauh ini belum ada blue-print strategi kerja BEM dan organisasi kemahasiswaan lainya. Kemana arah gerakan mahasiswa STAIS pada periode ini, adalah pertanyaan yang belum bisa terjawab secara kongkrit melalui program kerja. Rapat kerja ditutup tanpa megatahui berapa program kerja keseluruhan dan berapa tolal anggaran yang di butuhkan organisasi kemahasiswaan selama satu tahun priode kepengurusan kedepan, adalah bukti dari biasnya hasil Raker. Seyogyanya, hasil Raker yang konkrit dan disahkan bersama bisa dijadikan landasan kerja pengurus dan dapat diperjuangkan secara bersama-sama dihadapan lembaga akademik kampus.

Demikian beberapa catatan yang harapannya bisa menjadi renungan bersama. Perbaikan selalu dibutuhkan demi terwujudnya organisasi kampus yang kredibel dan professional. BEM tetaplah rumah gerakan bersama, dimana fungsi-fungsi mahasiswa akan terimplementasikan lewat organisasi ini. Kita belum terlambat untuk segera mengevaluasi. Wallahu’alam.

Oleh : Karnia

Posting Komentar

0 Komentar